Sunday, June 23, 2013

Kewajiban Maaliyah (Kewajiban terhadap Harta)



 sumber gambar : dari sini

“Tidak akan tergelincir dua kaki anak Adam pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat perkara: tentang usianya untuk apa ia habiskan, masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia peroleh dan ke mana ia belanjakan, dan tentang ilmunya apa yang diperbuatkan dengan ilmunya tersebut”. (HR. Al-Bazzar dan Al-Thabrani).

Islam adalah agama yang paling sempurna. Ajarannya mencakup semua hal, mulai urusan ibadah sampai muamalah. Hal-hal yang bersifat umum sampai yang detail, meski dalam beberapa hal juga memberikan akal kita untuk memikirkan atau merenungkannya lebih dalam.
Sebagai seorang muslim, kita pun akan dimintai pertanggung-jawaban tentang apa yang kita perbuat di muka bumi, termasuk harta. Dari hadits yang telah disebutkan di awal, poin tentang HARTA ini cukup istimewa. Dari empat hal yang akan dimintai pertanggung-jawaban, -yakni usia, masa muda, harta dan ilmu-, hanya ada satu poin yang ditanyakan dua hal, yakni harta. Harta dimintai pertanggung-jawaban tentang dari mana memperolehnya dan digunakan untuk apa. Hal ini menunjukkan bahwa agama kita memiliki concern terhadap urusan ini.

Sebagai seorang muslim, ada beberapa kewajiban terhadap harta, yaitu :
1.      Mencarinya dengan cara yang halal. Dalam Al Qur’an surat Al A’raf ayat 32, disebutkan bahwa Allah telah memberikan kesempatan kepada setiap manusia untuk memanfaatkan semua ciptaan-Nya di muka bumi, maka kewajiban yang harus diperhatikan adalah mencarinya dan memanfaatkannya dengan cara yang diperbolehkan oleh Allah SWT.
“Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”(QS. al-Baqarah: 188).
Cara yang terlarang atau dikategorikan haram ini dijelaskan dengan demikian rinci dalam hukum Islam, seperti riba, penipuan, merampas, korupsi, dsb. Harta yang demikian memiliki dampak yang luar biasa dahsyatnya bagi kita.
2.      Islam melarang menumpuk-numpuk harta kekayaan (kanzul mal). Realita seperti ini banyak kita temui dalam masyarakat sekarang, tidak sedikit orang yang telah berkecukupan tapi terus menerus menumpuk-numpuk hartanya. Mereka lebih senang mendepositokan hartanya ketimbang membaginya dengan cara yang sesuai syariat Islam. Yang dimaksud dengan menumpuk harta adalah mengumpulkan harta padahal kebutuhan hidupnya telah terpenuhi secara wajar. Allah SWT. berfirman:
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.”(QS. at-Taubah: 34-35).
Allah lebih menyukai bila harta yang telah banyak terkumpul itu dikeluarkan bagi sesama. Bisa sebagai modal usaha bersama (bersyirkah) atau menginfakkannya sebagai hibah, hadiah, sedekah atau wakaf yang akan mendatangkan pahala yang berlimpah.
3.      Menginfakkannya di jalan Allah SWT. Harta yang telah dimiliki maka selayaknya digunakan pula sesuai dengan perintah Allah. Setiap rupiah uang yang dikeluarkan sesuai dengan perintah-Nya justru mendatangkan keuntungan lagi bagi orang-orang yang mengeluarkannya. Tidak tanggung-tanggung, Allah akan melipatgandakan hingga berlipat-lipat. FirmanNya:
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui.”(QS. al-Baqarah: 261).

Jenis harta/kekayaan yang disebutkan dalam Al Quran meliputi:
1.      Emas dan perak (QS At Taubah/9:34);
2.      Tanaman dan buah-buahan (QS Al An’am/6:141);
3.      Penghasilan dari usaha yang baik (QS Al Baqarah/2:267); dan
4.      Barang tambang (QS Al Baqarah/2:267).
Namun demikian, lebih daripada itu Quran hanya merumuskannya dengan rumusan yang umum yaitu “kekayaan”. “Pungutlah olehmu zakat dari kekayaan mereka,…..” (QS 9:103)
Menurut Dr. Yusuf Al Qardhawi, kekayaan hanya bisa disebut kekayaan apabila memenuhi dua syarat yaitu : dipunyai dan bisa diambil manfaatnya.

Beberapa  syarat yang harus dipenuhi oleh harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:
1. Kepemilikan penuh. Maksudnya, penguasaan seseorang terhadap harta kekayaan sehingga bisa menggunakannya secara khusus. Karena Allah swt. mewajibkan zakat ketika harta itu sudah dinisbatkan kepada pemiliknya. Perhatikan firman Allah swt. ini, “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka” (At-Taubah: 103)
Karena itulah zakat tidak diambil dari harta yang tidak ada pemiliknya secara definitif. Seperti al-fa’i (harta yang diperoleh tanpa perang), ghanimah, aset negara, kepemilikan umum, dan waqaf khairi. Sedang waqaf pada orang tertentu, maka tetap kena wajib zakat menurut pendapat yang rajih (kuat).
Tidak wajib zakat pada harta haram, yaitu harta yang diperoleh manusia dengan cara haram, seperti ghasab (ambil alih semena-mena), mencuri, pemalsuan, suap, riba, ihtikar (menimbun untuk memainkan harga), menipu. Cara-cara ini tidak membuat seseorang menjadi pemilik harta. Ia wajib mengembalikan kepada pemiliknya yang sah. Jika tidak ditemukan pemiliknya, maka ia wajib bersedekah dengan keseluruhannya.
Sedangkan hutang, yang masih ada harapan kembali, maka pemilik harta harus mengeluarkan zakatnya setiap tahun. Namun jika tidak ada harapan kembali, maka pemilik hanya berkewajiban zakat pada saat hutang itu dikembalikan dan hanya zakat untuk satu tahun (inilah madzhab Al-Hasan Al-Bashriy dan Umar bin Abdul Aziz) atau dari tahun-tahun sebelumnya (madzhab Ali dan Ibnu Abbas).
2. Berkembang. Artinya, harta yang wajib dikeluarkan zakatnya harus harta yang berkembang aktif, atau siap berkembang, yaitu harta yang lazimnya memberi keuntungan kepada pemilik. Rasulullah saw. Bersabda, “Seorang muslim tidak wajib mengeluarkan zakat dari kuda dan budaknya.” (HR Muslim). Dari hadits ini beberapa ulama berpendapat bahwa rumah tempat tinggal dan perabotannya serta kendaraan tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Karena harta itu disiapkan untuk kepentingan konsumsi pribadi, bukan untuk dikembangkan. Dari ini pula rumah yang disewakan dikenakan zakat karena dikategorikan sebagai harta berkembang, jika telah memenuhi syarta-syarat lainnya.
3. Mencapai nishab, yaitu batas minimal yang jika harta sudah melebihi batas itu, wajib mengeluarkan zakat; jika kurang dari itu, tidak wajib zakat. Jika seseorang memiliki kurang dari lima ekor onta atau kurang dari empat puluh ekor kambing, atau kurang dari dua ratus dirham perak, maka ia tidak wajib zakat. Syarat mencapai nishab adalah syarat yang disepakati oleh jumhurul ulama. Hikmahnya adalah orang yang memiliki kurang dari nishab tidak termasuk orang kaya, sedang zakat hanya diwajibkan atas orang kaya untuk menyenangkan orang miskin. Hadits Nabi, “Tidak wajib zakat, kecuali dari orang kaya.” (HR Bukhari dan Ahmad)
4. Nishab itu sudah lebih dari kebutuhan dasar pemiliknya sehingga ia terbukti kaya. Kebutuhan minimal itu ialah kebutuhan yang jika tidak terpenuhi ia akan mati. Seperti makan, minum, pakaian, tempat tinggal, alat kerja, alat perang, dan bayar hutang. Jika ia memiliki harta dan dibutuhkan untuk keperluan ini, maka ia tidak zakat. Seperti yang disebutkan dalam firman Allah swt., “Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan.” (QS Al Baqarah: 219). Al-afwu adalah yang lebih dari kebutuhan keluarga, seperti yang dikatakan oleh kebanyakan ahli tafsir. Demikian juga yang Rasulullah saw. katakan, “Tidak wajib zakat, kecuali dari orang kaya.” (HR Bukhari dan Ahmad). Kebutuhan dasar itu mencakup kebutuhan pribadi dan yang menjadi tanggung jawabnya seperti isteri, anak, orang tua, kerabat yang dibiayai.
5. Pemilik lebih dari nishab itu tidak berhutang yang menggugurkan atau mengurangi nishabnya. Karena membayar hutang lebih didahulukan waktunya daripada hak orang miskin, juga karena kepemilikan orang berhutang itu lemah dan kurang. Orang yang berhutang adalah orang yang diperbolehkan menerima zakat, termasuk dalam kelompok gharimin, dan zakat hanya wajib atas orang kaya.
Hutang dapat menggugurkan atau mengurangi kewajiban zakat berlaku pada harta yang zhahir, seperti hewan ternak dan tanaman pangan, juga pada harta yang tak terlihat seperti uang.
Syarat hutang yang menggugurkan atau mengurangi zakat itu adalah:
a. hutang yang menghabiskan atau mengurangi nishab dan tidak ada yang dapat dugunakan membayarnya kecuali harta nishab itu.
b. hutang yang tidak bisa ditunda lagi, sebab jika hutang yang masih bisa ditunda tidak menghalangi kewajiban zakat.
c. Syarat terakhir, hutang itu merupakan hutang adamiy (antar manusia), sebab hutang dengan Allah seperti nadzar, kifarat tidak menghalangi kewajiban zakat.
6. Telah melewati masa satu tahun. Harta yang sudah mencapai satu nishab pada pemiliknya itu telah melewati masa satu tahun qamariyah penuh. Syarat ini disepakati untuk harta seperti hewan ternak, uang, perdagangan. Sedangkan pertanian, buah-buahan, madu, tambang, dan penemuan purbakala, tidak berlaku syarat satu tahun ini. Harta ini wajib dikeluarkan zakatnya begitu mendapatkannya. Dalil waktu satu tahun untuk ternak, uang, dan perdagangan adalah amal khulafaur rasyidin yang empat, dan penerimaan para sahabat, juga hadits Ibnu Umar dari Nabi saw., “Tidak wajib zakat pada harta sehingga ia telah melewati masa satu tahun.” (Ad-Daru Quthni dan Al-Baihaqi)

Zakat bagi kaum muslimin berguna untuk membersihkan harta tersebut dari harta yang kotor. Dalam terminologi syari’at, zakat didefinisikan sebagai sejumlah harta tertentu yang telah mencapai syarat tertentu yang diwajibkan Allah untuk dikeluarkan dan diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyartan tertentu pula. Dinamakan zakat karena mengandung harapan untuk mendapatkan berkah, membersihkan, dan memupuk jiwa dengan berbagai kewajiban.
“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat.” (An Nur: 56)
“Ambillah (sebagian) dari harta mereka menjadi sedekah (zakat), dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At Taubah: 103)
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah telah memfardhukan  kepada mereka, sedekah (zakat) pada harta mereka yang diambil dari si kaya diantara mereka, lalu dikembalikan kepada si fakir dari mereka.” (HR Bukhari dan Muslim)

Orang-orang yang berhak menerima zakat juga terbatas dalam delapan golongan. Secara umum, orang di luar delapan golongan itu tidak berhak menjadi mustahik.
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana “(At Taubah: 60)

Terhadap orang-orang yang tidak mau membayar zakat, Allah telah menyedikan ancaman bagi dirinya.
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: “Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu.” (QS At Taubah: 34-35)
Rasulullah bersabda, “Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunnya hujan. Kalau bukan karena binatang-binatang ternak, tentu hujan tidak akan diturunkan sama sekali.” (HR Ahmad)

Wallohu a’lam bish showab

No comments:

Post a Comment